Sabtu, 11 Juli 2015

Extremely Accurate Charts for Book Nerds

Beberapa gambar grafik berikut mencoba menggambarkan bagaimana arti sebuah buku bagi setiap bookish :). sumber : epicreads

Reading vs Everything Else

Epic Reads Charts for Book Nerds

How Book Nerds Go Broke

Epic Reads Charts for Book Nerds

How much do you really mean “one more page?”

Epic Reads Charts for Book Nerds

The Rate of Reading

Epic Reads Charts for Book Nerds

People you’re attracted to vs fictional characters

Epic Reads Charts for Book Nerds

Cycle of a Book Hangover

Epic Reads Charts for Book Nerds

Real world vs fictional world

Epic Reads Charts for Book Nerds

Going to the library

Epic Reads Charts for Book Nerds

Can you borrow my book?

Epic Reads Charts for Book Nerds

Should you start a new book?

Epic Reads Charts for Book Nerds
 

Minggu, 12 April 2015

#DreamWeddingLit RC Bentang Pustaka


Embedded image permalink

Berikut adalah tulisanku saat mengikuti wedding challenge Bentang Pustaka

Mencoba membuat konsep  wedding party --bagiku yang belum menikah, aku kira itu suatu hal yang sulit dilakukan, takut ambradul karena belum tahu detail kebutuhan apa saja yang harus dipersiapkan didalam acara pesta pernikahan. Tetapi, setelah aku mulai mencoba berimajinasi tentang seluk beluk  apa saja yang harus dikonsep di sebuah pesta pernikahan impian, ternyata tidak sesulit yang ku bayangkan, malah sangat menarik berimajinasi mengenai konsep pesta pernikahan untuk suatu hari kelak. Karena ketika berimajinasi, aku merasa tidak ada yang membatasiku dalam mengonsep sebuah acara pernikahan impian. Benar, belum pernah menikah justru membuat imajinasiku all out, imajinasi tidak dibatasi dengan seperti apa latar belakang calon suamiku, apakah calon suami setuju dengan konsep pesta pernikahan yang ku buat, dll.

Pernikahan impian ku itu :

Bernuansa bebukuan...


kartu undangan

Undangan berisi sebuah kartu peminjaman buku, memuat informasi mengenai kapan pesta pernikahan akan diselenggarakan. Undangan juga berisi ; sebuah surat dan kartu-kartu yang memberikan informasi mengenai tempat pernikahan diadakan, 2 swipe card (swipe card adalah sebuah kartu yang fungsinya untuk menggantikan buku tamu), kartu konsumsi driver, dan kartu parkir. Aku membuat kartu konsumsi driver dan kartu parkir karena seringkali aku kesulitan mendapat parkir saat menghadiri acara pesta pernikahan. Kartu-kartu dan surat ini akan di tulis dalam 3 bahasa. Bahasa Inggirs, bahasa Indonesia, dan bahasa Jawa.

amplop undangan

Selain itu, untuk mendukung kesan bebukuan pada wedding invitation-nya, saya memilih amplop undangan hardcover dengan pola kertas Koran.




kartu tamu (swipe card)

Menggunakan kartu katalog lengkap dengan balok tempat penyimpanannya. Penggunaan buku tamu dengan kartu katalog menciptakan kesan perpustakaan sejak awal para undangan memasuki hall pesta pernikahan. Didalam undangan sudah disisipkan 2 swipe card, satu dari kartu ini akan dimasukkan ke dalam balok/almari kartu katalog yang berada di meja penerimaan tamu saat tamu datang di acara pernikahan. Sehingga, tamu undangan tidak perlu lagi menulisakan namanya dibuku tamu. Dan satu kartu lagi akan disimpan oleh tamu, yang selanjutnya digunakan untuk mengambil souvenir.



 ornamen bebukuan tersebar di seluruh ruangan


kue pernikahan berbentuk susunan buku


Kue di pernikahan ku berbentuk buku-buku yang disusun tinggi menyerupai menara. Lengkap dengan hiasan patung pengantin diatasnya. Patung pengantin pun juga bertema buku, sepasang kekasih yang sama-sama membutuhkan buku untuk memperluas wawasannya dalam mengarungi rumah tangga kelak :) hehe. Oiya, tapi jangan khawatir, kue pengantin buku ini tetep dapat dimakan kok, dan rasanya manis :)


ornamen pita dan bunga dari kertas menghiasi white dress pengantin


Layaknya pengantin pada umumnya, cinta ku juga dilambangkan dengan setangkai bunga yang tersemat di baju. Bedanya hanya terletak pada bahan bunga ku, bunga di baju pengantin milikku terbuat dari kertas buku.

 
souvenir pernikahan

Semoga souvenir pernikahan ku bukan hanya barang yang dapat dikenang, tetapi juga barang yang dapat bermanfaat buat tamu undangan yang sudah hadir dan secara tidak langsung sudah mendoakan pernikahan ku. Aku memilih souvenir lampu tidur berwarna kuning, dengan gambar cover buku / halaman buku.   
 

Kenyang dengan makanan suroboyo-an...



 gado-gado
sumber

 lontong balap
sumber

rujak cingur

Sebagai perempuan Surabaya, ketiga makanan ini yang nantinya wajib ada di acara pernikahan ku. Baik gado-gado, lontong balap dan rujak cingur, ketiganya sama-sama berbahan utama lontong, jadi bisa dipastikan tamu undangan akan tetap kenyang ketika menyantap makanan khas Suroboyo ini.


Nikmatnya alunan musik Jowo...
 



sumber


Kapan lagi pertunjukan musik gamelan didengar dan dilihat oleh banyak orang, bila kebanyakan wedding party dimeriahkan oleh wedding singer dengan lagu kebarat-barat an nya, maka dipernikahan ku, tamu akan disuguhkan dengan lagu-lagu historikal dengan menggunakan gamelan sebagai alat musiknya.


Tentang pernikahan...


Pernikahan mengajarkan suatu kewajiban
Istri menjadi tanah, Suami langit penaungnya
Istri ladang tanaman, Suami penabur benihnya
Istri kiasan ternakan, Suami gembalanya
Istri adalah murid, Suami mursyid (pembimbing) -nya
Istri bagaikan anak kecil, Suami tempat bermanjanya
Istri menjadi madu, Suami berhak meneguk sepuasnya
Istri menjadi perawat, Suami bayi besar yang siap dimanja olh nya
Seandainya Istri tulang yang bengkok, berhati-hati lah saat meluruskannya.

oleh karena pernikahan merupakan suatu hal yang sakral --dan bukan main-main, maka upacara pernikahan ku pun aku laksanakan dengan niat..

supaya menjadi pengingat kala rumah tangga ku sedang disibukkan dengan duniawi nya,

supaya menjadi simbol bahwa pernikahan bukan suatu hal yang asal-asalan dilakukan, 

supaya menjadi kisah romantis nan indah di hari pertama aku menjadi Istrinya dan dia menjadi Suamiku.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Selfie dengan buku Menikahlah Dengan ku :)


"Kini, hanya satu pintaku. 
Seperti yang pernah kamu minta dulu padaku. 
Menikahlah denganku ...."
 

Divergent

Veronica Roth
543 Halaman
Mizan Fantasy, April 2012 (cetakan pertama)
Rp. 59.000,-
Satu pilihan, menentukan apa yang harus kau percaya

Satu pilihan, memastikan siapa yang kau turuti, selamanya

Chicago, usai perang nuklir yang menghancurkan dunia. Pada usia 16, setiap orang harus mengambil pilihan yang akan menentukan seluruh jalan hidupnya.

Beatrice memilih meninggalkan Faksi Abnegation yang tanpa pamrih untuk bergabung dengan para pemberani di Faksi Dauntless. Meninggalkan orangtuanya, membuang namanya untuk hidup bersama faksi yang baru. Beatrice menjadi Tris, berharap menemukan jati dirinya bersama para Dauntless. Namun, Tris harus lulus inisiasi terlebih dulu agar bisa diterima. Tak ada jalan kembali. Tak lulus inisiasi berarti Tris akan bergabung dengan orang-orang yang terbuang. Hidup menggelandang.

Berhasilkah ia bertahan di komunitas yang kadang kebrutalan dianggap sama dengan keberanian?
Keinginan membaca Divergent muncul ketika aku sedang membaca thrilogy hunger game, aku belum tau isi cerita Divergent itu seperti apa. Hanya dengar dari teman2 katanya popularitas Katniss sebentar lagi akan tergantikan oleh Tris. Jadi aku juga agak bingung, aku buka-buka media sosial dan benar, aku menemukan thrilogy yang ditulis Veronica Roth ini, beruntung aku nggak terlalu ketinggalan banget sama informasi ini. Mulailah aku mencari info tentang novelnya di Goodreads.
Sebuah ‘dorongan’ untuk membaca novel itu muncul ketika cover buku ketiga, Allegiant muncul dan bikin aku ‘kepanasan’. Divergent lalu aku keluarkan dari rak, bacanya halaman demi halamannya, dan  . . book hangover! Aku butuh beberapa hari untuk ‘move on’ dan menulis review ini hehehehehe :p

Divergent dimulai dengan kehidupan Beatrice Prior dari fraksi Abgenation. Dia merasa tidak cocok dengan prinsip fraksi yang dipilih ayah dan ibunya itu karena dia merasa perlunya mementingkan diri sendiri. Tapi disatu sisi dia juga tidak merasa fraksi-fraksi lain, Dauntless, Erudite, Candor, Amity cocok dengan pemikirannya. Hal itu yang membuat hasil tes kecakapannya – tes untuk menentukan fraksi saat umur enam belas tahun – kacau and tidak dapat disimpulkan. Tori, pengujinya dari fraksi Dauntless memberitahu Beatrice bahwa dia mempunyai sifat dari tiga fraksi sekaligus, Abgnegation, Dauntless dan Erudite yang berarti dia seorang Divergent. Beatrice tidak bisa memberi tahu ke-Divergent-annya kepada siapapun karena itu bisa menjadi masalah. Beatrice membawa rahasia itu meninggalkan Abnengation dan bergabung dengan Dauntless, fraksi pemberani yang membutuhkan kekuatan fisik yang besar. Dia merubah namanya dari Beatrice menjadi Tris dan mengikuti ujian inisiasi yang dipimpin oleh Four. Ke-Divergent-annya itu kadang muncul dan membuatnya berada di peringkat satu program inisiasi. Tris bisa bersikap sebagai Dauntless tapi sifat Abnegationnya kadang muncul dan membuat anggota fraksi Dauntless curiga. Apalagi mengingat Tris berasal dari fraksi yang ‘lemah’. Tris mencoba menutupinya tapi sebuah ujian simulasi menyadarkan Four dan diapun memperingatkannya. Tris mencoba mencari info sebanyak mungkin tentang Divergent tanpa diketahui orang lain. Hasilnya, menjadi Divergent memang berbahaya dan bisa saja menimbulkan perang antar fraksi.

Divergent itu yaaaa NYEBELIN BANGET! BIKIN AKU BOOK HANGOVER! Setiap aku selesai satu bab, aku pengen melanjutkan ke bab berikutnya. Kalo aku penasaran banget, kadang aku buka-buka halaman selanjutnya dan ketika menemukan sesuatu yang menarik tentang Four, aku langsung kembali ke halaman sebelumnya dan makin ngebut bacanya. Ketika aku mau tidur, bayangan Four muncul dan uugggh, gak sabar buat nunggu matahari terbit dan ngehabisin novel itu! Kenapa gak bergadang aja? Aku mencoba tidur senormal mungkin dan sekaligus menunda keasyikan ceritanya, biar lebih rame lagi. ‘Menyiksa’ diri dengan sengaja hehehe.  Saat halaman terakhir beres dibaca, aku malah ngalamin book hangover karena endingnya ngegantung! Dua hari kemudian aku langsung ke Rumah Buku dan beli Insurgent.Tapi beli berani dibaca karena aku harus ngetik review ini dulu hahahaha
Divergent mengambil cerita yang sangat menarik dan aku suka banget. Walaupun ada beberapa bagian yang bikin aku ngilu banget, tapi ya itu berarti penulis berhasil. Tapi kadang-kadang aku suka bingung dibeberapa bagian. Contohnya saat ngebanyangin gimana sih markas fraksi Dauntless yang gelap gulita. Aku harus baca berulang-ulang sambil mengerutkan dahi. Ada juga beberapa percakapan yang terbaca aneh. Apa masalah penerjemahannya kali ya? Tapi itu nggak ngehalangin aku buat yoba nyari-nyari link buat ngelakuin tes kecakapan and the result is Amity! Sebenernya sih aku ikutan lagi dan lagi tes itu dan hasilnya macam-macam. Tapi aku nggak pernah dapet Dauntless ataupun Divergent. Kenapa ya? Wanna try it? Click here ;)
Sorry to say, kadang aku suka ngebandingin Divergent dengan The Hunger Games. Aku sebenernya nggak suka juga sih. Tapi cuma itu novel bertema dystopian yang sudah aku baca. Untungnya banyak perbedaan dan that’s a good thing, right. Aku nunggu-nunggu adegan perang atau dimana Tris mulai memberontak. Perangnya ada sih tapi cuma bentar dan well, ngegantung. Tapi sebelumnya banyak kejadian-kejadian penting yang diceritain dan ngaruh ke cerita. Bahkan memunculkan twist dmana-mana. Oke banget lah! Beatrice ‘Tris’ Prior disini galaunya minta ampun gara-gara dia ngerasa nggak cocok dan takut jadi factionless. Tapi hal itu ternyata ada alasannya. Toh dia itu ternyata Divergent dan sebaiknya memunculkan ke-Divergent-annya itu. Lalu muncul Four yang begitu kalem tapi bikin Tris (dan aku) dag dig dug.


Karena endingnya gantung, aku belum mengambil kesimpulan tentang nasib Divergent dan bakal dibawa kemana. Tapi ada beberapa sisi lain yang cukup menggelitik pikiran aku. Sekarangkan banyak banget tuh novel bertema dystopian, dimana peradaban dunia hancur dan menimbulkan dunia baru yang memberlakukan hukum baru yang unik, mengerikan dan menimbulkan perang pemberontak. Nggak tau kenapa novel-novel kayak gitu memunculkan seorang cewek sebagai tokoh utamanya. Sisi pemberani, kepemimpinan dan juga kelemahannya sebagai seorang pemberontak dan perempuan diulas abis. Tak lupa juga menambahkan sisi keluarga dan pacar tercinta. Pacarnya (cowok ya pastinya) jadi rekan yang tangguh tapi juga menjadi titik lemah di heroine.  Beda banget ya kalo misalnya cowok yang jadi tokoh utamanya. Tokoh pacar cewek cenderung jadi titik lemah si hero, tidak bisa diandalkan dan ‘pemanis’ doang. Yaaa, mungkin ada yang bilang ‘namanya juga cerita fiksi’ atau ‘biar beda atuh, kan jadinya lebih rame’. Tapi hal itu pernah dijadiin topik skripsi kakak tingkat aku and her paper is awesome. Jadi topik ini suka kebawa-bawa kalo aku baca novel lain yang mengangkat hal yang serupa. Terus kenapa sih harus perang dulu baru bisa damai? Apakah keadaan sudah sangat kacau sehingga harus dihancurkan dulu? Call me stupid but I’m gonna read much much more to figure it out. Mungkin kamu juga penasaran dan pengen nulis skripsi dengan topik tersebut? :p
At last, Divergent oke, sangat oke banget buat dibaca. Alur ceritanya emang agak lambat tapi pantas diikutin kok. Atau mau nonton film adaptasinya? Baca bukunya dulu deh. Sudah nonton filmnya tapi belum baca novelnya? nggak rugi kok baca novelnya meski sudah nonton filmnya. Can’t wait! Fyi, cover buku pertama, Divergent, bergambar logo fraksi Dauntless. Sedangkan cover buku kedua, Insurgent bergambar logo fraksi Amity. Lalu di cover buku ketiga, Allegiant, itu logo franksinya ya? Divergent? Very recommended :D

rating : 4,5 / 5

Insurgent

Veronica Roth
551 Halaman
Mizan Fantasy, 2012
Rp. 59.000,-
sumber review
 
"Satu pilihan bisa mengubahmu, atau justru menghancurkanmu."

Konsekuensi pilihan yang diambilnya membuat Tris terjebak dalam faksi pengkhianat yang membunuh keluarganya. Kini, Tris harus mencoba menyelamatkan orang-orang yang disayanginya, juga dirinya sendiri, sementara benaknya dikacaukan oleh berbagai pertanyaan tentang kesetiaan, identitas, dan pengampunan.

Ketika ancaman perang dan perpecahan faksi semakin mengancam, Tris harus memutuskan, tetap pada identitasnya sebagai Dauntless atau memunculkan dirinya yang sejati. Sebagai Divergent. Sebuah identitas yang dianggap berbahaya dan dihindari semua faksi.

Lanjutan seri Divergent yang menjadi Best Fantasy Book di Goodreads Choice Award ini tak mengecewakan pembaca. Seru, menegangkan, namun juga dibumbui dengan kisah cinta, patah hati, dan filosofi menggugah tentang manusia dan kehidupan.
Dua hari setelah menyelesaikan Divergent, aku langsung beli Insurgent. Insurgent ini nggak dijejerin ke rak tapi nggak langsung dibaca juga. Aku harus menulis review Divergent dulu. Baru deh bisa move on ke Insurgent. Tapi aku agak ragu-ragu juga ketika mau baca novel kedua ini. Karena aku nggak mau semua kenangan manis (duh!) ketika membaca Divergent terhapus sama Insurgent. Aku yakin Insurgent bakal berbeda, lihat aja judulnya. Tapi karena ingin memenuhi rasa penasaran dan kekangenanku sama Four atau Tobias, aku baca deh perlahan, cari tempat duduk yang aman sembunyi-sembunyi nggak merhatiin dosen dikelas yang lagi ngasih materi :P
Cerita di halaman pertama Insurgent langsung meneruskan perjalanan Tris, Tobias, Marcus dan Peter yang melarikan diri dari markas Dauntless ke Amity. Mereka disambut oleh wakil fraksi Amity, Johanna dan sejumlah pengungsi dari fraksi Abnegation. Serbuan mendadak dari fraksi Erudite yang membawa serta para Dauntless pembelot, membuat mereka harus melarikan diri dan menemukan perkumpulan factionless. Factionsless yang semula dianggap lebih buruk dari kematian ternyata hidup secara berkelompok, mirip dengan fraksi lain dan dipimpin oleh Evelyn, ibu kandung Tobias. Tris dan Tobias lalu pergi ke fraksi Candor dan menemukan pengungsi dari fraksi lain, termasuk Dauntless yang setia dan Erudite yang kabur karena tidak bisa dimanipulasi. Para Dauntless lalu menyusun rencana untuk menyerang markas Erudite sekaligus bingung kenapa Janine, wakil fraksi Erudite begitu ingin mengendalikan semua orang termasuk para Divergent. Sebuah informasi ternyata telah disimpan rapat-rapat dan tidak ada pilihan selain mencarinya di komputer pribadi Janine. Tapi karena Amity dan Candor tidak mau membantu lalu Abnegation tidak bersisa, para Dauntless tidak punya pilihan selain bersekutu dengan factionless.

“Insurgent. Kata benda. Orang yang bertindak sebagai oposisi terhadap otoritas yang mapan, yang tidak selalu dianggap sebagai orang yang suka berperang.” – halaman 478

Insurgent benar-benar menyambung  ceritanya dari ending novel pertama. Tanpa ada jeda untuk memperkenalkan sejarah singkat sedikitpun. Jadi buat kamu yang baca sinopsis buatanku diatas mungkin agak bingung dengan beberapa istilah atau konflik yang menjadi inti novel ini. Baiknya ya, baca novel pertamanya dulu ;)
Dengan alur cerita yang masih lambat, novel ini menampilkan lebih banyak kekerasan dan pemberontakan yang tiada henti. Pindah ke fraksi ini, lalu pindah ke fraksi itu, dan akhirnya menetap di fraksi sendiri. Ya hitunglah sebagai jalan-jalan antar fraksi dan melihat perbedaannya. Entah kenapa semua itu nggak bikin aku excited atau book hangover sekalipun. Bukankah ini yang aku tunggu-tunggu? Apa mungkin karena hubungan Tris dan Tobias juga ‘memberontak’? Mereka tidak seakur dan semesra dulu huhuhuhuhu. Bahkan Tobias yang dulu keliatannya cenderung ke Abnegation sekarang malah terasa sangat Dauntless. Udahan deh book hangovernya :(
 
Tapi aku tetep menanti novel ketiga yang bakal terbit akhir tahun ini. Sebuah video yang menjadi twist di akhir novel kedua ini sangat mengejutkan dan pastinya bikin aku penasaran. Penantianku buat novel ketiga itu mungkin agak panjang, mengingat proses terjemahan yang bakal dilakukan penerbit Indonesia. Apa nanti aku coba beli versi bahasa Inggrisnya ya? Aku masih agak sangsi dengan terjemahan novel ini. Soalnya masih banyak kata-kata yang rancu, typo dan tidak sama sinkron dengan novel pertamanya. Yaaa itulah yang terjadi kalo penerjemahnya ganti. Semoga saja ada perbaikan di novel ketiganya nanti ;D
At last, walaupun isinya tidak begitu memuaskan tapi Insurgent membawaku ke rasa penasaran selanjutnya, ke novel ketiga, Allegiant. Aku berharap akan disuguhi kebenaran yang terpendam yang selama ini dicari Tris dan Tobias dan diakhiri dengan cara yang menarik dan memuaskan. Selagi menunggu itu, aku juga menunggu film adaptasinya sambil baca-baca hal menarik di Divergent:Wikia. Nggak takut kena spoiler lagi, malah sekarang aku nyari-nyari hahahaha. Recommended :D

rating : 4,5 /5

Allegiant

Veronica Roth
496 halaman
Mizan Fantasi, Mei 2014
Rp. 65.000,-
sumber review
 
Bagaimana bila seluruh hidupmu adalah dusta? Dan satu kebenaran—seperti satu pilihan—mengubah semua yang kau percaya?

Tak ada lagi faksi, tak ada lagi panduan, hanya ingatan akan pengkhianatan. Tirani lain mengancam, para factionless yang selama ini terbuang mengambil alih kekuasaan.

Tris ingin ke luar batas kota dengan Tobias, bebas dari dusta dan prasangka. Tetapi realitas baru mengubah hati orang-orang yang dicintai Tris. Sekali lagi Tris harus berjuang untuk memenangkan hati mereka. Perjuangan yang menuntut semua keberanian, kesetiaan, pengorbanan, dan cintanya.

Allegiant, pamungkas Trilogi Divergent yang dinanti-nanti oleh jutaan pembaca di dunia setelah Divergent dan Insurgent.

Allegiant! Seri terakhir dari Divergent Trilogy akhirnya terbit dalam Bahasa Indonesia.  Aku deg-degan banget waktu pergi ke toko buku dan beli novel ini. Soalnya tahun lalu, sekitaran bulan Oktober saat novel ini pertama kali terbit, banyak yang katanya kecewa, marah dan nggak suka. John Green juga ikut angkat suara. Waktu itu aku belum tau apakah dia ikut setuju atau ngomong apa. Pokoknya aku ngehindari spoiler abis-abisan. Eh, taunya ada sebuah komentar di laman Instagram Ansel Elgort yang aku curigain sebagai spoiler. Tapi aku cepet-cepet lupain, cepet-cepet baca dan beresin novel ini juga. Now, lt’s review it :)
Setelah berhasil menyebarkan video Edith Prior, Tris dan teman-temannya ditahan. Tobias sendiri bebas karena dia dijadikan tangan kanannya ibunya, Evelyn, pemimpin factionless yang mengambil alih kekuasaan Jeanine. Setelah ditanyai dibawah pengaruh serum kejujuran, Tris dan teman-temannya dibebaskan. Tapi mereka tidak suka dengan kehidupan tanpa fraksi yang membingungkan dan masih rawan kekacauan. Lalu Tris diajak orang misterius untuk mengikuti sebuah perkumpulan yang dinamai Allegiant. Misi mereka adalah mengembalikan fungsi fraksi-fraksi dulu dan mengikuti perintah dalam video Edith Prior untuk mengirimkan Divergent ke luar pagar perbatasan. Tris, Tobias, Cara, Christina, Uriah, Peter dan Caleb ditunjuk untuk pergi. Dengan pengorbanan sebuah nyawa, mereka berhasil keluar. Kenyataan yang mereka hadapi di luar kota sangat mengejutkan. Kota mereka, Chicago, ternyata adalah kota percobaan untuk menghasilkan orang-orang dengan gen sempurna, yang mereka kenal sebagai Divergent dan mempunyai kode MG (Murni Gen). Orang-orang yang tidak mempunyai gen sempurna diberi kode RG (Rusak Gen). Tobias sangat kecewa saat menemukan dia tidak memiliki susunan gen seperti milik Tris. Itu artinya selama ini dia bukan seorang Divergent dan dikategorikan sebagai manusia ‘rusak’. Nita, seorang peneliti yang juga dikategorikan sebagai RG, mengajaknya dalam sebuah misi rahasia agar MG dan RG punya kesetaraan.
"Setiap orang menyimpan kejahatan di dalam dirinya, dan langkah pertama untuk mencintai seseorang adalah dengan menyadari bahwa kita sendiri pun memilikinya sehingga kita mampu memaafkan orang lain." – halaman 263
Rasanya campur aduk saat aku baca Allegiant ini, apalagi pas bagian ending-nya. Banyak hal yang bikin aku agak pusing. Pertama, penceritaannya memakai dua point of view, Tris dan Tobias. Kadang aku salah mengerti, selalu mikir Tris yang ngomong, eh ternyata itu Tobias. Ternyata penggunaan dua PoV itu ngebantu aku kenal lebih dekat dengan Tobias, yang selama ini aku lihat sangat kuat. Nyatanya dia juga punya sisi rapuh dan takut yang cukup besar. Yang aku juga sukai dari PoV Tobias adalah besar rasa cintanya buat Tris, hehehe. Kedua, nama-nama karakter lain selain Tris dan Tobias. Aku baca Insurgent setahun yang lalu, udah lupa deh sama siapa dan peran mereka. Yang aku inget sih cuma tokoh-tokoh yang ada di Divergent dan juga muncul di film adaptasinya. Aku baca terus deh daripada harus buka-buka dua novel yang sebelumnya. Ketiga, masalah MG dan RG. Terkuak sudah semua kebohongan, tipu daya, kepalsuan dan propaganda. Ceritanya jadi sangat berbeda dengan dua buku sebelumnya.Aku ngerasa sama syoknya sama Tris, Tobias dan lainnya. Tapi aku kagum dengan ide gen itu. Gila. Kamu-kamu baca sendiri, deh, biar lebih ngerti dan ngerasain efeknya.
And here comes the ending.                                                                                                                                                       
Aku sedih, marah dan ngerasa hampa. Aku tidur dulu sekitar satu jam buat ngehapus semua rasa itu. Lebay banget ya. It really helps, walaupun aku masih ngerasa ada yang nggak enak di dalam dada. Tapi bukan berarti aku bakal ngelakuin hal-hal yang disuarakan pembaca di luar negeri, seperti berhenti baca karya Roth dan menonjoknya kalo ketemu di jalan. Itu baru namanya lebay.
Kalian-kalian yang belum baca pasti nanya, ‘emang endingnya gimana sih?
Di penghujung cerita, seorang tokoh kesukaan semua orang melakukan sebuah pengorbanan yang besar demi cinta. Tindakannya itu bikin banyak orang selamat, banyak orang juga yang jadi merana. Pembaca di luar itu marah karena mereka jadi ikut-ikutan merana. Mereka juga nyesel baca novel yang bikin mereka malah sedih, bukannya bahagia. Mereka pada nyalahin penulisnya deh.
Aduh, duh, It’s fiction, people.

Aku juga sedih. Tapi aku senang dengan keputusan penulisnya bikin ending yang beda. Aku malah selalu menghargai penulis yang ngasih ending yang nggak biasa, alias jauh dari happy ending yang ideal. Tindakan itu bikin bikin kita lebih realistis dan nggak kejebak di kehidupan fiksi yang kadang terlalu ‘wah’ buat dunia nyata.

At last, Allegiant ini menuntaskan rasa penasaranku dan menjawab pertanyaan yang terkumpul dari seri Divergent dan Insurgent. Aku hanya berharap film adaptasinya nanti, yang rencananya akan dibagi menjadi dua bagian, tetep ngikutin ending cerita ini ;)

rating : 3/5

Rabu, 18 Maret 2015

50 years of Silence

Judul : Fifty Years of Silence
Penulis : Jan Ruff O'Herne | Terbit : 2011
Jumlah Halaman : 200 | Harga : Rp. 15.000 (dengan diskon)
paperback

Sinopsis :
Jan Ruff-O’Herne berasal dari sebuah keluarga kolonial yang lahir di Jawa pada tahun 1923. Masa kecilnya penuh keceriaan dan kebahagiaan di daerah perkebunan pabrik gula Tjepiring, dekat Semarang, Jawa Tengah. Kebahagiaan ini harus berakhir seiring berakhirnya masa penjajahan kolonial Belanda di Indonesia ketika Jepang berhasil menyerbu Pulau Jawa tahun 1942. Bersama ibu dan kedua adiknya, Jan Ruff-O’Herne diasingkan di kamp penjara Ambarawa.
Masa-masa sulit untuk bertahan hidup dengan segala keterbatasan di kamp penjara Ambarawa dijalani Jan bersama ribuan perempuan dan anak-anak Belanda. Ketika usia Jan menginjak 21 tahun, Jan bersama tujuh orang gadis Belanda dipindahkan ke sebuah rumah bordil di Semarang untuk dijadikan budak seks para tentara Jepang selama tiga bulan. Setelah itu, mereka dipindahkan ke sebuah kamp penjara di Bogor untuk kemudian dipindahkan kembali ke kamp Kramat, Batavia. Disinilah Jan bertemu dengan Tom Ruff yang akan menjadi suaminya kelak.
Selama lima puluh tahun, Jan tidak pernah memberi tahu siapa pun tentang peristiwa yang dialaminya semasa perang tersebut. Pada tahun 1992, Jan memutuskan angkat bicara dan mendukung para korban pemerkosaan Perang Korea memohon keadilan. Jan berjuang sekuat tenaga untuk membela hak-hak kaum wanita dalam perang dan konflik bersenjata.


 Jan dan teman-temannya saat berkampanye memeperjuangkan hak keperempuanannya

Resensi :
Menurutku buku ini bagus untuk memperluas wawasan kita mengenai bagaimana keadaan Indonesia --dan sebagian warga Belanda-- saat Jepang menyerang negara Indonesia. Buku yang ditulis sendiri oleh Jan tidak hanya mengulas dari sisi kemiliteran tentara Jepang saja, tetapi juga mengulas sisi psikologis maupun ekonomi penduduk Indonesia --dan Belanda ex penjajah Indonesia. Gambaran mengenai bagiamana orang-orang Belanda yang masih "berdomisili" di Indonesia diperlakukan sangat miris oleh pasukan Jepang, juga gambaran mengenai keakraban yang terjalin antara keluarga Belanda dengan keluarga pribumi saat Jepang belum memasuki Indonesia, berhasil disampaikan dengan gaya bahasa yang meyakinkan. Tidak heran jika berkat kepandaiannya mengolah kata-kata inilah, teman-teman senasib Jan yang 'dijajah' hak perempuannya diberbagai belahan negara lainnya berani menyuarakan dan menuntut haknya kembali setelah 50 tahun terpenjara dalam diamnya sendiri.


Komentar :
Setelah berdiskusi dengan teman yang juga pernah membaca buku ini, aku berpikir bahwa buku 50 Years of Silence ini bisa saja menuai berbagai kritik dan kontroversi. Karena apa? Jan menggambarkan seakan-akan masyarakat Indonesia ikut serta dalam gerakan-gerakan penindasan terhadap warga Belanda yang saat itu masih tinggal di Indonesia, Jan beranggapan bahwa masyarakat Indonesia mau "ikut" dengan kebijakan-kebijakan yang pernah ditetapkan Belanda pada masa itu. Aku sebagai masyarakat Indonesia yang membaca buku ini, tentu menolak dengan anggapan-anggapan Jan itu. Baik Belanda maupun Jepang sama-sama tidak memiliki hak untuk menjadikan masyrakat Indonesia sebagai pesuruh/budaknya. Di buku ini dijelaskan pula bahwa lapangan pekerjaan masyarakat Indonesia pada masa itu sangat tergantung pada keluarga Belanda. Sebagaian besar masyarakat Indonesia yang perempuan bekerja menjadi pembantu rumah tangga di rumah keluarga Belanda, sedangkan saat Jepang mulai menjajah Indonesia, Jan menggap bahwa orang-orang Jepang merampas pekerjaan orang indonesia, orang jepang (menjajah dan) menelantarkan masyarakat pribumi dan masyarakat Belanda yang tinggal di Indonesia.
Saya khawatir terhadap pembaca buku yang sudah diterjemahkan kedalam beberapa bahasa ini nantinya akan menganggap bahwa Indonesia juga terlibat dalam aksi ke-tidak berperikemanusiaan-an terhadap warga Belanda --yang dibuku ini digambarkan bahwa Belanda tidak seburuk penjajah-penjajah lainnya.

rating : 4/5

Untunglah, Ssusunya - Fortunately The Milk


Judul : Untunglah, Susunya - Fortunately, The Milk 
Penulis: Neil Gaiman | Jumlah halaman: 128 halaman
Terbit : 2015 | Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Harga: Rp. 27.000 di Gramedia (dengan diskon)
paperback

Sinopsis : 
“Aku membeli susu,” kata Ayah. “Aku keluar dari toko pojok, dan mendengar suara aneh seperti ini: dhum… dhumm… Aku mendongak, dan kulihat piringan perak besar menggantung di atas Jalan Marshall.”
“Halo,” pikirku. “Itu bukan sesuatu yang kaulihat setiap hari. Lalu sesuatu yang aneh terjadi.” 
Ingin tahu kelanjutan ceritanya? Baca saja petualangan aneh dan ajaib ini, yang diceritakan dengan lucu oleh Neil Gaiman, penulis bestseller pemenang Newbery Medalist.

Resensi :
Melihat judul "Fortunately, the Milk" saja aku langsung ingin baca. Apalagi saat tahu kalau authornya Neil Gaiman. Sudah tidak perlu diragukan lagi, buku ini masuk dalam to be read list ku. Tidak perlu mikir dua kali juga saat akan membeli buku ini, harga yang versi bahasa sangat ramah kantong jika dibandingkan dengan versi inggrisnya.

Buku ini menyuguhkan pembacanya pada cerita fiktif yang disampaikan si Ayah sebagai dongeng pagi untuk anak-anaknya. Aku sama sekali tidak menyangka jika hampir keseluruhan isi buku ini adalah cerita perjalanan si Ayah saat membeli susu untuk sarapan, dan kedua anaknya menunggu di rumah dengan bosan karena si Ayah tidak lekas kembali. Bahkan, aku tidak menyadari jika hingga halaman aku tidak menemukan siapa nama kedua anak si Ayah ini, hanya disebutkan bahwa anak pertama sia Ayah adalah kakak laki-laki, dan memiliki adik perempuan. Mereka berdua sedang menunggu susu untuk sarapan serealnya. Ya, pemaca akan dibuat begitu hanyut dengan cerita yang dibawakan oleh si Ayah (yang tidak disebutkan juga namanya, haha).

Justru tokoh dari cerita yang disampaikan si Ayah lah yang disebutkan namanya.Dengan gaya bahasa yang sederhana, dan Ilustarsi dari Skottie Young yang dikemas sangant menarik sangat membantu cerita imaginatif  si Ayah menjadi lebih seru dan mudah dipahami.

5/5

Senin, 09 Maret 2015

An Abundance of Katherines Quotes

 Penulis : John Green | Genre : Fiction, YA
Jumlah Halaman : 320 halaman | Terbit : Mei 2014
paperback
sumber

MEMORY AND THE PAST :
1) This was Colin's first memory: his dad slowly lowering the paper and smiling at him. His dad's eyes were wide with surprise and pleasure, and his smile was uncontainable. "CINDY! THE BOY IS READING THE PAPER!" he shouted. (3.30)
It's important for us to hear where it all began: the very first memory that Colin has. For most of us it's something silly we did as a kid, but for Colin it's a significant moment in forming who he is today. His whole identity can be traced back to this moment when he became a child prodigy.

2) "You and me will read a book and find like three interesting things that we remember. But Colin finds everything intriguing. He reads a book about presidents and he remembers more of it because everything he reads clicks in his head as fugging interesting. Honestly, I've seen him do it with the phone book. He'll be like, 'Oh, there are twenty-four listings for Tischler. How fascinating.'" (9.89)
Thanks to Hassan here, we get a look at how Colin's brain works: his memories are so important to him because it's part of what he does and who he is. He likes to read and remember, and then read some more. We all have a favorite memory, but Colin tries to remember everything. 

LOVE :
1) You can love someone so much, he thought. But you can never love people as much as you can miss them. (10.31)
This is one of the most important lines in the book. Why? Because it's so telling about how Colin feels about the Katherines. He may spend most of his life moping over one of them leaving him, claiming he wants her back, but what he's really bummed about is not having that person around any more. He's not still loving her necessarily—he's wanting her to still be around because he misses her. Now that's deep. 
2) "I was thinking about this girl you love so much," she said. "And this place I love so much. And how that happens. How you can just fall into it. This land Hollis is selling, the thing about it is—well, I'm partly mad because I don't want there to be some bullshit McMansion subdivision up there, but also partly because my secret hideout is up there." (13.86)
Sure, there are different types of love. There's the kind you have for your GF or BF and then there's the type you have for your secret hideaway in the woods. So what do they have in common? Lindsey seems to think it's the process of actually falling in love. It just happens, and before you know it, it's already too late: you're in love whether you wanted to be or not. 

LIFE, EXISTENCE :
1) We're invisible. I've never been here with someone else. It's different being invisible with someone. (14.19)
Shh… we're in a super secret hiding place. Lindsey takes Colin to her hideaway where it's so dark they can't even see each other. We're interested in the way she thinks about her life—she can't be seen by anyone, yet she's with Colin. It's as though they are together, but apart from the rest of the world. 

2) "Whatever, I like you, and I never really like anybody. Hassan likes you, and I can tell that he never really likes anybody, either. You just need more people who don't like people." (14.4)
Bam—Lindsey sure knows how to tell it straight. She's not one of those lovey-dovey gals who wants to be BFFs with everyone in sight, and yet she still likes Colin. It's important for him to come to the realization that not everyone loves the popular kids, and that there are loads of people just like him who only exist on the fringes of the cool kids.


The Giver (2014)

 Sutradara : Phillip Noyce
Writer : Michael Mitnick, Robert B, Lois Lowry (book) |
 Durasi : 97 min |
Genre : Drama, Sci-Fi 

Harga : Rp. 48.000 | Terbit : Agustus 2014 |
Jumlah Halaman : 232 halaman | paperback |
Gramedia


Film adapted dari novel dengan judul yang sama ini, menjadi movie yang to be watch karena salah satu pemainnya adalah Taylor Swift (meskipun Tay keluar dikit banget, cuma 3 menitan). Selain itu genre dari novelnya juga interest, yakni young adult dengan tema dystopian.

Sinopsis :
Dunia yang digambarkan pada film ini adalah suatu komunitas yang terkendali dan teratur, tanpa ada perang, ketakutan, kesakitan dan perbedaan. Oleh sebab itu, pada komunitas ini tidak mengenal iri, dengki, persaingan. Semua orang memiliki perannya masing-masing. Jonas (Brenton Thwaites) terpilih menjadi Sang Penerima Kenangan oleh chief elder (Meryl Streep) untuk menerima latihan khusus. Disinilah ia bertemu dengan The Giver/Sang Pemberi (Jeff Bridges). Selama ini Sang Pemberi memiliki ingatan mengenai hal-hal yang tidak diingat oleh anggota komunitas tersebut. Seperti rasa sakit, dsb. Dan betapa takjub  Jonas menerima kebenaran sesungguhnya. Kejanggalan mulai terjadi di diri Jonas dan dirasakan oleh Ibu Jonas (Katie Holmes) dan Ayah Jonas (Alexander Skarsgard) akibat dari ingatan yang diberikan oleh Sang Pemberi. Teman-teman semasa kecil Jonas yaitu Fiona (Odeya Rush) dan Asher (Cameron Monaghan) berusaha membantu Jonas untuk membuktikan apa yang sebenarnya terjadi. Di balik itu semua, pemimpin dengan julukan Chief Elder berusaha untuk menutup rapat-rapat apapun yang terjadi. Chief elder tidak menginginkan anggota komunitasnya mengetahui kenangan-kenangan yang sudah ditiadakan di komunitas tersebut. 

Komentar :
The Giver minim tantangan, tidak seperti rekannya Divergent atau The Hunger Games dengan “bahaya” yang jelas-jelas mengintai. Konflik cerita juga tidak sedalam rekan-rekannya, sehingga The Giver pun terasa dangkal. Tapi The Giver cukup memberi pesan moral yang dalam. Dari segi casting, Taylor Swift difilm pertamanya ini tidak terlalu kaku saat berperan sebagai Rosemary. Brenton Thwintes sebagai Jonas, yang juga pernah bermain di film Maleficent ini, membuat tokoh Jonas lumayan menjanjikan, tetapi lawan mainnya Odeya Rush masih terlalu kaku.

Pesan : 
Dengan menonton film ini anda akan menemukan sebuah fakta baru disadari, yang worth it menurutku, membuat kita berpikir bahwa dunia kita yang sekarang ini, yang penuh emosi, perbedaan dan persaingan adalah dunia yang lebih baik. Sementara dunia yang teratur, tenteram, karena diatur oleh orang-orang tertentu, bukanlah dunia yang baik dan tidak enak dijalani. Teori konspirasi juga secara tidak langsung ada dalam cerita ini.

film : 7/10
buku : 4/5

The Fault in Our Stars (Novel & Film)

Let me tell you a story abt this film, atau lebih tepatnya novel, atau dari versi novel hingga film. Ini merupakan buku John Green yang pertama kali aku baca tahun 2013 lalu. Selanjutnya ketagihan dengan karya-karya young adult lain miliknya, yang banyak dipuja-puji penikmat novel genre ini. Sedikit membahas tentang John Green, ciri khas dan thing(s) that make John Green so interest are, karyanya yang selalu disisipi dengan "bahasa matematika" ketika menghubungkan suatu peristiwa dengan peristiwa lainnya. Namun terkadang pembaca tidak menyadari rahasia bahasa matematika yang invisible tersebut.

cover TFiOS dari novel hingga layar lebar

Back to TFiOS, sebelum kamu menonton film TFiOS you should read the novel (i dont really cry in movies), atau minimal membaca novelnya setelah kamu tertarik menonton filmnya, kenapa? Karena kalau dibaca dan dipahami dengan hati-hati, TFiOS ternyata jauh lebih kompleks daripada yang kita kira, baik kompleks isinya maupun kompleks efek sesudahnya. Dan aku sarankan lagi buat baca versi aslinya, bukan terjemahannya. Karena di versi terjemahan, banyak adegan yang dipotong --yang menurutku itu mengurangi the essential of the story. Lagipula, ada beberapa kata yang ketika diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia jadi kuarng lucu dan nggak nyambung. Walau demikian, baik versi english maupun versi bahasa sama-sama worth it untuk dibaca kok.

Sutradara : Josh Boone |
Produser : Wyck Godfrey, Marty Bowen |
Writer : Scott Neustadter, Michel H. Weber |
Durasi : 126 min

the review :
It is a teen story, indeed. Dibuka oleh Hazel Grace (Shailene Woodley) dengan dialog di first chapter yang sudah bikin aku sedikit menangis "I didn't tell him that the diagnosis came three months after I got my first period. Like: Congratulations! You're a woman. Now die". (2.13). Ia didiagnosa mengidap kanker tyroid yang sudah mulai menyebar ke paru-parunya sehingga ia harus selalu memakai selang dan membawa tabung oksigen ke mana-mana. Awalnya ia tidak suka datang ke Support Group, di mana anak-anak pengidap kanker bertemu dan saling menguat. Tetapi di situlah ia bertemu Augustus Waters (Ansel Elgort), seorang mantan pemain baseball yang kehilangan sebelah kakinya akibat kanker tulang. Hazel mengenalkan buku kesayangannya yang telah dibacanya berkali-kali: An Imperial Affliction (AIA) karya Peter Van Houten (Willem Dafoe) kepada Augustus. AIA berakhir di tengah kalimat, nyaris seperti salah cetak. Hazel paham bahwa pasti itu terjadi sebagai gambaran bahwa tokoh utamanya, Anna yang juga pengidap kanker, telah meninggal, sehingga ceritanya berhenti sampai situ. Tetapi meskipun bukunya fiksi, Hazel sangat penasaran dengan apa yang terjadi pada tokoh-tokoh lainnya, sehingga ia selalu bermimpi untuk bisa menanyai Peter Van Houten. 

Akibat diskusi asik dengan Gus (Augustus Waters) mengenai buku ini, keduanya saling tertarik dan jatuh cinta. (Akting Shailene Woodley dan Ansel Elgort sebagai sejoli disini sangat cocok, walaupun sempat beradaptasi dulu karena sebelumnya melihat keduanya beradu peran sebagai  Kakak-Adik pada film Divergent). Kalimat-kalimat romantisa yang dikeluarkan dua muda-mudi ini tidak terdengar gombal dan picisan. John Green berhasil membawa pembacanya meresapi dunia remaja yang sedang jatuh cinta namun kebetulan sedang sakit, bukan remaja yang sedang sakit namun kebetulan sedang jatuh cinta


Gus dan Hazel kemudian terbang ke Amsterdam untuk menemui van Houten, ternyata ketika sampai disana, keduanya justru menerima perilaku yang kasar dan tanggapan yang sangat mengecewakan dari penulis idolanya itu. Tetapi setelah diperhatikan, sikap van Houten ini berkaitan terhadap potongan adegan sesudahnya, yakni saat Gus mengaku bahwa ia mengalami kekambuhan sekaligus metastasis kankernya. Beberapa hari setelah kembalinya dari Amsterdam, Gus meninggal. (ini kejadian yang sangat tidak bisa ditebak --siapa sangka Gus akan meninggal lebih dulu). Namun sebelum kepergiannya, Augustus telah mempersiapkan eulogy, agar supaya setelah ia meninggal, Hazel tetap mendapatkan keinginannya. So sweet kan? Lebih bagusnya lagi, lewat eulogy itu kita akhirnya bisa paham mengapa Augustus menyukai Hazel. Dan mengapa Hazel bisa menyukai Augustus.

Pesan :
Kebahagiaan yang utuh hadir tak sekejap waktu
Impian bisa menjadi kenyataan, tetapi terkadang tak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Sama halnya seperti Hazel dan Gus yang mewujudkan mimpi untuk bertmu dengan penulis favorit mereka di Amsterdam. Namun, bagian terbaiknya bukanlah saat bertemu dengan sang penuli, melainkan rangkaian momen yang mereka habiskan bersama.
Hal yang demikian bisa kita petik hikmahnya dengan kesimpulan kebahagiaan yang utuh adalah yang membutuhkan proses dan tahapan.

Favorable quote :
"I tried to tell myself that it could be worse, that the world was not a wish-granting factory, that I was living with cancer not dying of it, that I mustn't let it kill me before it kills me"

“I spent your Wish on that doucheface,” I said into his chest.
“Hazel Grace. No. I will grant you that you did spend my one and only Wish, but you did not spend it on him. You spent it on us.”

"I didn't tell him that the diagnosis came three months after I got my first period. Like: Congratulations! You're a woman. Now die"

""It wold be a privilege to have my heart broken by you
film : 7/10
buku :4/5
























The Hobbit: The Battle of the Five Armies (2014)

 
Sutradara : Peter Jackson |
Produser : Peter Jackson, Fran Walsh, Caroline Guningham |
Writer : Peter Jackson, Fran Walsh, Guillermo del Toro, Philippa Boyens  |
Fran Walsh, Guillermo del Toro, Philippa Boyens
Durasi : 144 min

Sebenarnya sedikit ragu, -lebih tepatnya bingung akan menulis review ini darimana. The Hobbit merupakan film trilogi adapted dari sebuah novel dengan judul yang sama, yang ditulis oleh J.R.R Tolkien. Novel The Hobbit memiliki 320 halaman untuk versi English, dan 340 untuk terjemahan Bahasa Indonesia. 320 lembar yang coba diterjemahkan oleh Peter Jackson menjadi film yang ia pecah menjadi tiga bagian, review ini akan menceritakan The Hobbit: The Battle of the Five Armies. Merupakan prekuel dari The Lord of The Ring (TLoTR).

Review :
Kedatangan Bilbo Baggins (Martin Freeman) beserta 13 kurcaci yang dipimpin oleh Thorin Oakenshield (Richard Armitage) menyebabkan Smaug (Benedict Cumberbatch) yang kala itu sudah menduduki Gunung Erebor marah dan menghancurkan sebuah kota dekat danau menggunakan kekuatannya. Namun ternyata seorang pria bernama Bard (Lukas Evans) berhasil menemukan kelemahan Smaug dan kemudian mengalahkan naga tersebut untuk menjadi pahlawan kotanya. Brad lebih tertarik untuk bersama-sama mengamankan tempat penampungan serta negoisasi yang telah mereka buat dengan Thorin terkait harta di didalam gunung tadi, daripada harus menjadi pemimpin negerinya.

Namun, Thorin tidak menepati janjinya, ia tidak mau membagi harta dan emasnya sesuai perjanjian yang telah ia buat dengan Brad. Hal ini menjadikan Bilbo dan kurcaci lain merasa perlu melakukan sesuatu terhadap situasi tersebut. Kondisi semakin rumit dengan kehadiran kaum elf dibawah pimpinan Thranduil (Lee Pace) yang juga menginginkan harta didalam Gunung Erebor, dan telah membentuk aliansi. Begitupula dengan keberadaan Orc di bawah komando Azog (Manu Bennett) yang berniat mengejar Thorin untuk membalaskan dendam, begitupula dengan Legolas (Orlando Bloom) dan Tauriel (Evangeline Lilly) yang mengetahui bahwa ada tentara kegelapan lain yang siap untuk menyerang.

Komentar :
Jika harus menggambarkan apa yang menarik dari film ini mungkin jawabannya adalah bagian pembuka yang memberikan kita kenikmatan yang terbilang cukup baik untuk klik dengan karakter dan juga masalah, dan bagian penutup yang punya kekuatan cukup besar untuk memuaskan mereka yang telah menyaksikan The Lord of the Rings karena berhasil menciptakan sebuah jembatan menuju The Fellowship of the Ring. Bagaimana dengan sisanya? semua dibungkus dengan alur cerita yang liar namun dalam struktur yang kurang nikmat. Karakter Bilbo Bagins pun terlihat tidak terlalu heroic, dimana sepanjang hampir peperangan terjadi ia hanya tertidur (alias pingsan). Namun aksinya memiliki pesan moral yang tinggi di awal cerita, ia mencuri jantung kekayaan milik Thor, demi tidak terjadinya peperangan dan tegaknya keadilan sesuai perjanjian yang telah ditetapkan.

Pada film ini terdapat begitu banyaknya gimmick yang Peter Jackson coba bentuk untuk menyokong dan memperpanjang cerita. Untuk animasi, sentuhan yang ia ciptakan pada sisi visual cukup apresiative, tetapi ada beberapa bagian yang terlihat terlalu dibuat-buat. Seperti saat Legolas bertarung melawan pasukan Azog di tebing yang perlahan runtuh. Tidak ada yang mengejutkan dari visual, efek visual yang kita dapatkan tetap bagus, tetapi hanya memenuhi standard rata-rata apa yang kita dapatkan dari seorang Peter Jackson, namun yang menjadi masalah adalah ketika ia tampak murni mengandalkan visual tadi untuk menyelesaikan ambisinya agar The Hobbit seri ketiga ini dapat diselesaikan dengan khusnul khotimah.

Hal tersebut yang menjadi faktor utama rasa kecewa pada film ini. Tidak ada yang mengejutkan dari visual, apa yang kita dapatkan sudah berada di level yang sama dari seorang Peter Jackson, namun yang menjadi masalah adalah ketika ia tampak murni mengandalkan visual tadi untuk menyelesaikan ambisinya ini. Harapan pada The Hobbit tentu saja tidak sama dengan harapan pada Transformers, visual memukau dengan cerita yang macet total dari segi daya tarik, kita ingin The Hobbit menyajikan urutan yang bukan hanya menarik tapi juga dilengkapi kemampuan untuk memberikan kita sesuatu yang imajinatif untuk di konsumsi, karakterisasi yang mumpuni bahkan memiliki kualitas emosi yang menarik. Film ini kesulitan pada bagian tersebut, eksposisi dengan materi terbatas dan kemudian berputar-putar mencoba menciptakan kesibukan yang sayangnya menggerus daya tarik, ketegangan, hingga antusiasme penonton.

Overall, The Hobbit: The Battle of the Five Armies adalah film yang cukup memuaskan. Namun seperti overcook saat disajikan dilayar bioskop. Sebagai film dari novel fantasi, The Hobbit terlalu datar pesona nya. Komposisi yang akan dengan mudahnya menjadikan kenikmatan visual dan adegan aksi yang ia berikan turun kelas dari awalnya luar biasa menjadi biasa, dan tidak lebih amazing dari yang diimajinasikan pembaca novelnya. 

film : 6/10
buku : -