Senin, 09 Maret 2015

The Fault in Our Stars (Novel & Film)

Let me tell you a story abt this film, atau lebih tepatnya novel, atau dari versi novel hingga film. Ini merupakan buku John Green yang pertama kali aku baca tahun 2013 lalu. Selanjutnya ketagihan dengan karya-karya young adult lain miliknya, yang banyak dipuja-puji penikmat novel genre ini. Sedikit membahas tentang John Green, ciri khas dan thing(s) that make John Green so interest are, karyanya yang selalu disisipi dengan "bahasa matematika" ketika menghubungkan suatu peristiwa dengan peristiwa lainnya. Namun terkadang pembaca tidak menyadari rahasia bahasa matematika yang invisible tersebut.

cover TFiOS dari novel hingga layar lebar

Back to TFiOS, sebelum kamu menonton film TFiOS you should read the novel (i dont really cry in movies), atau minimal membaca novelnya setelah kamu tertarik menonton filmnya, kenapa? Karena kalau dibaca dan dipahami dengan hati-hati, TFiOS ternyata jauh lebih kompleks daripada yang kita kira, baik kompleks isinya maupun kompleks efek sesudahnya. Dan aku sarankan lagi buat baca versi aslinya, bukan terjemahannya. Karena di versi terjemahan, banyak adegan yang dipotong --yang menurutku itu mengurangi the essential of the story. Lagipula, ada beberapa kata yang ketika diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia jadi kuarng lucu dan nggak nyambung. Walau demikian, baik versi english maupun versi bahasa sama-sama worth it untuk dibaca kok.

Sutradara : Josh Boone |
Produser : Wyck Godfrey, Marty Bowen |
Writer : Scott Neustadter, Michel H. Weber |
Durasi : 126 min

the review :
It is a teen story, indeed. Dibuka oleh Hazel Grace (Shailene Woodley) dengan dialog di first chapter yang sudah bikin aku sedikit menangis "I didn't tell him that the diagnosis came three months after I got my first period. Like: Congratulations! You're a woman. Now die". (2.13). Ia didiagnosa mengidap kanker tyroid yang sudah mulai menyebar ke paru-parunya sehingga ia harus selalu memakai selang dan membawa tabung oksigen ke mana-mana. Awalnya ia tidak suka datang ke Support Group, di mana anak-anak pengidap kanker bertemu dan saling menguat. Tetapi di situlah ia bertemu Augustus Waters (Ansel Elgort), seorang mantan pemain baseball yang kehilangan sebelah kakinya akibat kanker tulang. Hazel mengenalkan buku kesayangannya yang telah dibacanya berkali-kali: An Imperial Affliction (AIA) karya Peter Van Houten (Willem Dafoe) kepada Augustus. AIA berakhir di tengah kalimat, nyaris seperti salah cetak. Hazel paham bahwa pasti itu terjadi sebagai gambaran bahwa tokoh utamanya, Anna yang juga pengidap kanker, telah meninggal, sehingga ceritanya berhenti sampai situ. Tetapi meskipun bukunya fiksi, Hazel sangat penasaran dengan apa yang terjadi pada tokoh-tokoh lainnya, sehingga ia selalu bermimpi untuk bisa menanyai Peter Van Houten. 

Akibat diskusi asik dengan Gus (Augustus Waters) mengenai buku ini, keduanya saling tertarik dan jatuh cinta. (Akting Shailene Woodley dan Ansel Elgort sebagai sejoli disini sangat cocok, walaupun sempat beradaptasi dulu karena sebelumnya melihat keduanya beradu peran sebagai  Kakak-Adik pada film Divergent). Kalimat-kalimat romantisa yang dikeluarkan dua muda-mudi ini tidak terdengar gombal dan picisan. John Green berhasil membawa pembacanya meresapi dunia remaja yang sedang jatuh cinta namun kebetulan sedang sakit, bukan remaja yang sedang sakit namun kebetulan sedang jatuh cinta


Gus dan Hazel kemudian terbang ke Amsterdam untuk menemui van Houten, ternyata ketika sampai disana, keduanya justru menerima perilaku yang kasar dan tanggapan yang sangat mengecewakan dari penulis idolanya itu. Tetapi setelah diperhatikan, sikap van Houten ini berkaitan terhadap potongan adegan sesudahnya, yakni saat Gus mengaku bahwa ia mengalami kekambuhan sekaligus metastasis kankernya. Beberapa hari setelah kembalinya dari Amsterdam, Gus meninggal. (ini kejadian yang sangat tidak bisa ditebak --siapa sangka Gus akan meninggal lebih dulu). Namun sebelum kepergiannya, Augustus telah mempersiapkan eulogy, agar supaya setelah ia meninggal, Hazel tetap mendapatkan keinginannya. So sweet kan? Lebih bagusnya lagi, lewat eulogy itu kita akhirnya bisa paham mengapa Augustus menyukai Hazel. Dan mengapa Hazel bisa menyukai Augustus.

Pesan :
Kebahagiaan yang utuh hadir tak sekejap waktu
Impian bisa menjadi kenyataan, tetapi terkadang tak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Sama halnya seperti Hazel dan Gus yang mewujudkan mimpi untuk bertmu dengan penulis favorit mereka di Amsterdam. Namun, bagian terbaiknya bukanlah saat bertemu dengan sang penuli, melainkan rangkaian momen yang mereka habiskan bersama.
Hal yang demikian bisa kita petik hikmahnya dengan kesimpulan kebahagiaan yang utuh adalah yang membutuhkan proses dan tahapan.

Favorable quote :
"I tried to tell myself that it could be worse, that the world was not a wish-granting factory, that I was living with cancer not dying of it, that I mustn't let it kill me before it kills me"

“I spent your Wish on that doucheface,” I said into his chest.
“Hazel Grace. No. I will grant you that you did spend my one and only Wish, but you did not spend it on him. You spent it on us.”

"I didn't tell him that the diagnosis came three months after I got my first period. Like: Congratulations! You're a woman. Now die"

""It wold be a privilege to have my heart broken by you
film : 7/10
buku :4/5
























Tidak ada komentar:

Posting Komentar