Senin, 09 Maret 2015

The Hobbit: The Battle of the Five Armies (2014)

 
Sutradara : Peter Jackson |
Produser : Peter Jackson, Fran Walsh, Caroline Guningham |
Writer : Peter Jackson, Fran Walsh, Guillermo del Toro, Philippa Boyens  |
Fran Walsh, Guillermo del Toro, Philippa Boyens
Durasi : 144 min

Sebenarnya sedikit ragu, -lebih tepatnya bingung akan menulis review ini darimana. The Hobbit merupakan film trilogi adapted dari sebuah novel dengan judul yang sama, yang ditulis oleh J.R.R Tolkien. Novel The Hobbit memiliki 320 halaman untuk versi English, dan 340 untuk terjemahan Bahasa Indonesia. 320 lembar yang coba diterjemahkan oleh Peter Jackson menjadi film yang ia pecah menjadi tiga bagian, review ini akan menceritakan The Hobbit: The Battle of the Five Armies. Merupakan prekuel dari The Lord of The Ring (TLoTR).

Review :
Kedatangan Bilbo Baggins (Martin Freeman) beserta 13 kurcaci yang dipimpin oleh Thorin Oakenshield (Richard Armitage) menyebabkan Smaug (Benedict Cumberbatch) yang kala itu sudah menduduki Gunung Erebor marah dan menghancurkan sebuah kota dekat danau menggunakan kekuatannya. Namun ternyata seorang pria bernama Bard (Lukas Evans) berhasil menemukan kelemahan Smaug dan kemudian mengalahkan naga tersebut untuk menjadi pahlawan kotanya. Brad lebih tertarik untuk bersama-sama mengamankan tempat penampungan serta negoisasi yang telah mereka buat dengan Thorin terkait harta di didalam gunung tadi, daripada harus menjadi pemimpin negerinya.

Namun, Thorin tidak menepati janjinya, ia tidak mau membagi harta dan emasnya sesuai perjanjian yang telah ia buat dengan Brad. Hal ini menjadikan Bilbo dan kurcaci lain merasa perlu melakukan sesuatu terhadap situasi tersebut. Kondisi semakin rumit dengan kehadiran kaum elf dibawah pimpinan Thranduil (Lee Pace) yang juga menginginkan harta didalam Gunung Erebor, dan telah membentuk aliansi. Begitupula dengan keberadaan Orc di bawah komando Azog (Manu Bennett) yang berniat mengejar Thorin untuk membalaskan dendam, begitupula dengan Legolas (Orlando Bloom) dan Tauriel (Evangeline Lilly) yang mengetahui bahwa ada tentara kegelapan lain yang siap untuk menyerang.

Komentar :
Jika harus menggambarkan apa yang menarik dari film ini mungkin jawabannya adalah bagian pembuka yang memberikan kita kenikmatan yang terbilang cukup baik untuk klik dengan karakter dan juga masalah, dan bagian penutup yang punya kekuatan cukup besar untuk memuaskan mereka yang telah menyaksikan The Lord of the Rings karena berhasil menciptakan sebuah jembatan menuju The Fellowship of the Ring. Bagaimana dengan sisanya? semua dibungkus dengan alur cerita yang liar namun dalam struktur yang kurang nikmat. Karakter Bilbo Bagins pun terlihat tidak terlalu heroic, dimana sepanjang hampir peperangan terjadi ia hanya tertidur (alias pingsan). Namun aksinya memiliki pesan moral yang tinggi di awal cerita, ia mencuri jantung kekayaan milik Thor, demi tidak terjadinya peperangan dan tegaknya keadilan sesuai perjanjian yang telah ditetapkan.

Pada film ini terdapat begitu banyaknya gimmick yang Peter Jackson coba bentuk untuk menyokong dan memperpanjang cerita. Untuk animasi, sentuhan yang ia ciptakan pada sisi visual cukup apresiative, tetapi ada beberapa bagian yang terlihat terlalu dibuat-buat. Seperti saat Legolas bertarung melawan pasukan Azog di tebing yang perlahan runtuh. Tidak ada yang mengejutkan dari visual, efek visual yang kita dapatkan tetap bagus, tetapi hanya memenuhi standard rata-rata apa yang kita dapatkan dari seorang Peter Jackson, namun yang menjadi masalah adalah ketika ia tampak murni mengandalkan visual tadi untuk menyelesaikan ambisinya agar The Hobbit seri ketiga ini dapat diselesaikan dengan khusnul khotimah.

Hal tersebut yang menjadi faktor utama rasa kecewa pada film ini. Tidak ada yang mengejutkan dari visual, apa yang kita dapatkan sudah berada di level yang sama dari seorang Peter Jackson, namun yang menjadi masalah adalah ketika ia tampak murni mengandalkan visual tadi untuk menyelesaikan ambisinya ini. Harapan pada The Hobbit tentu saja tidak sama dengan harapan pada Transformers, visual memukau dengan cerita yang macet total dari segi daya tarik, kita ingin The Hobbit menyajikan urutan yang bukan hanya menarik tapi juga dilengkapi kemampuan untuk memberikan kita sesuatu yang imajinatif untuk di konsumsi, karakterisasi yang mumpuni bahkan memiliki kualitas emosi yang menarik. Film ini kesulitan pada bagian tersebut, eksposisi dengan materi terbatas dan kemudian berputar-putar mencoba menciptakan kesibukan yang sayangnya menggerus daya tarik, ketegangan, hingga antusiasme penonton.

Overall, The Hobbit: The Battle of the Five Armies adalah film yang cukup memuaskan. Namun seperti overcook saat disajikan dilayar bioskop. Sebagai film dari novel fantasi, The Hobbit terlalu datar pesona nya. Komposisi yang akan dengan mudahnya menjadikan kenikmatan visual dan adegan aksi yang ia berikan turun kelas dari awalnya luar biasa menjadi biasa, dan tidak lebih amazing dari yang diimajinasikan pembaca novelnya. 

film : 6/10
buku : -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar