Sutradara : Peter Jackson |
Produser : Peter Jackson, Fran Walsh, Caroline Guningham |
Writer : Peter Jackson, Fran Walsh, Guillermo del Toro, Philippa Boyens |
Fran Walsh, Guillermo del Toro, Philippa Boyens
Durasi : 144 min
Sebenarnya sedikit ragu, -lebih tepatnya bingung akan menulis review ini darimana. The Hobbit merupakan film trilogi adapted dari sebuah novel dengan judul yang sama, yang ditulis oleh J.R.R Tolkien. Novel The Hobbit memiliki 320 halaman untuk versi English, dan 340 untuk terjemahan Bahasa Indonesia. 320 lembar yang coba diterjemahkan oleh Peter Jackson menjadi film yang ia pecah menjadi tiga bagian, review ini akan menceritakan The Hobbit: The Battle of the Five Armies. Merupakan prekuel dari The Lord of The Ring (TLoTR).
Kedatangan Bilbo Baggins (Martin Freeman) beserta
13 kurcaci yang dipimpin oleh Thorin
Oakenshield (Richard Armitage) menyebabkan Smaug (Benedict Cumberbatch) yang kala itu sudah menduduki Gunung Erebor marah dan menghancurkan
sebuah kota dekat danau menggunakan kekuatannya. Namun ternyata seorang pria
bernama Bard (Lukas Evans) berhasil
menemukan kelemahan Smaug dan kemudian mengalahkan naga tersebut untuk menjadi
pahlawan kotanya. Brad lebih tertarik untuk bersama-sama mengamankan tempat
penampungan serta negoisasi yang telah mereka buat dengan Thorin terkait harta
di didalam gunung tadi, daripada harus menjadi pemimpin negerinya.
Namun,
Thorin tidak menepati janjinya, ia tidak mau membagi harta dan emasnya
sesuai perjanjian yang telah ia buat dengan Brad. Hal ini menjadikan
Bilbo dan
kurcaci lain merasa perlu melakukan sesuatu terhadap situasi tersebut.
Kondisi semakin rumit dengan kehadiran kaum elf dibawah pimpinan Thranduil (Lee Pace) yang juga
menginginkan harta didalam Gunung Erebor, dan telah membentuk aliansi. Begitupula
dengan keberadaan Orc di bawah
komando Azog (Manu Bennett) yang
berniat mengejar Thorin untuk membalaskan dendam, begitupula dengan Legolas (Orlando Bloom) dan Tauriel (Evangeline Lilly) yang
mengetahui bahwa ada tentara kegelapan lain yang siap untuk menyerang.
Komentar :
Jika harus menggambarkan apa yang menarik dari film ini mungkin jawabannya adalah bagian pembuka yang memberikan kita kenikmatan yang terbilang cukup baik untuk klik dengan karakter dan juga masalah, dan bagian penutup yang punya kekuatan cukup besar untuk memuaskan mereka yang telah menyaksikan The Lord of the Rings karena berhasil menciptakan sebuah jembatan menuju The Fellowship of the Ring. Bagaimana dengan sisanya? semua dibungkus dengan alur cerita yang liar namun dalam struktur yang kurang nikmat. Karakter Bilbo Bagins pun terlihat tidak terlalu heroic, dimana sepanjang hampir peperangan terjadi ia hanya tertidur (alias pingsan). Namun aksinya memiliki pesan moral yang tinggi di awal cerita, ia mencuri jantung kekayaan milik Thor, demi tidak terjadinya peperangan dan tegaknya keadilan sesuai perjanjian yang telah ditetapkan.
Jika harus menggambarkan apa yang menarik dari film ini mungkin jawabannya adalah bagian pembuka yang memberikan kita kenikmatan yang terbilang cukup baik untuk klik dengan karakter dan juga masalah, dan bagian penutup yang punya kekuatan cukup besar untuk memuaskan mereka yang telah menyaksikan The Lord of the Rings karena berhasil menciptakan sebuah jembatan menuju The Fellowship of the Ring. Bagaimana dengan sisanya? semua dibungkus dengan alur cerita yang liar namun dalam struktur yang kurang nikmat. Karakter Bilbo Bagins pun terlihat tidak terlalu heroic, dimana sepanjang hampir peperangan terjadi ia hanya tertidur (alias pingsan). Namun aksinya memiliki pesan moral yang tinggi di awal cerita, ia mencuri jantung kekayaan milik Thor, demi tidak terjadinya peperangan dan tegaknya keadilan sesuai perjanjian yang telah ditetapkan.
Pada film ini terdapat begitu banyaknya gimmick yang Peter Jackson coba bentuk untuk
menyokong dan memperpanjang cerita. Untuk animasi, sentuhan yang ia ciptakan pada sisi visual
cukup apresiative, tetapi ada beberapa bagian yang terlihat terlalu
dibuat-buat. Seperti saat Legolas bertarung melawan pasukan Azog di
tebing yang perlahan runtuh. Tidak ada yang mengejutkan dari
visual, efek visual yang kita dapatkan tetap bagus, tetapi hanya memenuhi standard rata-rata apa yang kita dapatkan dari seorang Peter Jackson, namun yang menjadi
masalah adalah ketika ia tampak murni mengandalkan visual tadi untuk
menyelesaikan ambisinya agar The Hobbit seri ketiga ini dapat diselesaikan dengan khusnul khotimah.
Hal tersebut yang
menjadi faktor utama rasa kecewa pada film ini. Tidak ada yang mengejutkan dari
visual, apa yang kita dapatkan sudah berada di level yang sama dari seorang Peter Jackson, namun yang menjadi
masalah adalah ketika ia tampak murni mengandalkan visual tadi untuk
menyelesaikan ambisinya ini. Harapan pada The
Hobbit tentu saja tidak sama dengan harapan pada Transformers, visual memukau dengan cerita yang macet total dari
segi daya tarik, kita ingin The Hobbit menyajikan
urutan yang bukan hanya menarik tapi juga dilengkapi kemampuan untuk memberikan
kita sesuatu yang imajinatif untuk di konsumsi, karakterisasi yang mumpuni
bahkan memiliki kualitas emosi yang menarik. Film ini kesulitan pada bagian
tersebut, eksposisi dengan materi terbatas dan kemudian berputar-putar mencoba
menciptakan kesibukan yang sayangnya menggerus daya tarik, ketegangan, hingga
antusiasme penonton.
Overall, The Hobbit: The Battle of the Five Armies
adalah film yang cukup memuaskan. Namun seperti overcook saat disajikan
dilayar bioskop. Sebagai film dari novel fantasi, The Hobbit terlalu
datar pesona nya. Komposisi yang akan dengan
mudahnya menjadikan kenikmatan visual dan adegan aksi yang ia berikan
turun
kelas dari awalnya luar biasa menjadi biasa, dan tidak lebih amazing
dari yang diimajinasikan pembaca novelnya.
film : 6/10
buku : -
film : 6/10
buku : -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar