Rabu, 18 Maret 2015

50 years of Silence

Judul : Fifty Years of Silence
Penulis : Jan Ruff O'Herne | Terbit : 2011
Jumlah Halaman : 200 | Harga : Rp. 15.000 (dengan diskon)
paperback

Sinopsis :
Jan Ruff-O’Herne berasal dari sebuah keluarga kolonial yang lahir di Jawa pada tahun 1923. Masa kecilnya penuh keceriaan dan kebahagiaan di daerah perkebunan pabrik gula Tjepiring, dekat Semarang, Jawa Tengah. Kebahagiaan ini harus berakhir seiring berakhirnya masa penjajahan kolonial Belanda di Indonesia ketika Jepang berhasil menyerbu Pulau Jawa tahun 1942. Bersama ibu dan kedua adiknya, Jan Ruff-O’Herne diasingkan di kamp penjara Ambarawa.
Masa-masa sulit untuk bertahan hidup dengan segala keterbatasan di kamp penjara Ambarawa dijalani Jan bersama ribuan perempuan dan anak-anak Belanda. Ketika usia Jan menginjak 21 tahun, Jan bersama tujuh orang gadis Belanda dipindahkan ke sebuah rumah bordil di Semarang untuk dijadikan budak seks para tentara Jepang selama tiga bulan. Setelah itu, mereka dipindahkan ke sebuah kamp penjara di Bogor untuk kemudian dipindahkan kembali ke kamp Kramat, Batavia. Disinilah Jan bertemu dengan Tom Ruff yang akan menjadi suaminya kelak.
Selama lima puluh tahun, Jan tidak pernah memberi tahu siapa pun tentang peristiwa yang dialaminya semasa perang tersebut. Pada tahun 1992, Jan memutuskan angkat bicara dan mendukung para korban pemerkosaan Perang Korea memohon keadilan. Jan berjuang sekuat tenaga untuk membela hak-hak kaum wanita dalam perang dan konflik bersenjata.


 Jan dan teman-temannya saat berkampanye memeperjuangkan hak keperempuanannya

Resensi :
Menurutku buku ini bagus untuk memperluas wawasan kita mengenai bagaimana keadaan Indonesia --dan sebagian warga Belanda-- saat Jepang menyerang negara Indonesia. Buku yang ditulis sendiri oleh Jan tidak hanya mengulas dari sisi kemiliteran tentara Jepang saja, tetapi juga mengulas sisi psikologis maupun ekonomi penduduk Indonesia --dan Belanda ex penjajah Indonesia. Gambaran mengenai bagiamana orang-orang Belanda yang masih "berdomisili" di Indonesia diperlakukan sangat miris oleh pasukan Jepang, juga gambaran mengenai keakraban yang terjalin antara keluarga Belanda dengan keluarga pribumi saat Jepang belum memasuki Indonesia, berhasil disampaikan dengan gaya bahasa yang meyakinkan. Tidak heran jika berkat kepandaiannya mengolah kata-kata inilah, teman-teman senasib Jan yang 'dijajah' hak perempuannya diberbagai belahan negara lainnya berani menyuarakan dan menuntut haknya kembali setelah 50 tahun terpenjara dalam diamnya sendiri.


Komentar :
Setelah berdiskusi dengan teman yang juga pernah membaca buku ini, aku berpikir bahwa buku 50 Years of Silence ini bisa saja menuai berbagai kritik dan kontroversi. Karena apa? Jan menggambarkan seakan-akan masyarakat Indonesia ikut serta dalam gerakan-gerakan penindasan terhadap warga Belanda yang saat itu masih tinggal di Indonesia, Jan beranggapan bahwa masyarakat Indonesia mau "ikut" dengan kebijakan-kebijakan yang pernah ditetapkan Belanda pada masa itu. Aku sebagai masyarakat Indonesia yang membaca buku ini, tentu menolak dengan anggapan-anggapan Jan itu. Baik Belanda maupun Jepang sama-sama tidak memiliki hak untuk menjadikan masyrakat Indonesia sebagai pesuruh/budaknya. Di buku ini dijelaskan pula bahwa lapangan pekerjaan masyarakat Indonesia pada masa itu sangat tergantung pada keluarga Belanda. Sebagaian besar masyarakat Indonesia yang perempuan bekerja menjadi pembantu rumah tangga di rumah keluarga Belanda, sedangkan saat Jepang mulai menjajah Indonesia, Jan menggap bahwa orang-orang Jepang merampas pekerjaan orang indonesia, orang jepang (menjajah dan) menelantarkan masyarakat pribumi dan masyarakat Belanda yang tinggal di Indonesia.
Saya khawatir terhadap pembaca buku yang sudah diterjemahkan kedalam beberapa bahasa ini nantinya akan menganggap bahwa Indonesia juga terlibat dalam aksi ke-tidak berperikemanusiaan-an terhadap warga Belanda --yang dibuku ini digambarkan bahwa Belanda tidak seburuk penjajah-penjajah lainnya.

rating : 4/5

Untunglah, Ssusunya - Fortunately The Milk


Judul : Untunglah, Susunya - Fortunately, The Milk 
Penulis: Neil Gaiman | Jumlah halaman: 128 halaman
Terbit : 2015 | Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Harga: Rp. 27.000 di Gramedia (dengan diskon)
paperback

Sinopsis : 
“Aku membeli susu,” kata Ayah. “Aku keluar dari toko pojok, dan mendengar suara aneh seperti ini: dhum… dhumm… Aku mendongak, dan kulihat piringan perak besar menggantung di atas Jalan Marshall.”
“Halo,” pikirku. “Itu bukan sesuatu yang kaulihat setiap hari. Lalu sesuatu yang aneh terjadi.” 
Ingin tahu kelanjutan ceritanya? Baca saja petualangan aneh dan ajaib ini, yang diceritakan dengan lucu oleh Neil Gaiman, penulis bestseller pemenang Newbery Medalist.

Resensi :
Melihat judul "Fortunately, the Milk" saja aku langsung ingin baca. Apalagi saat tahu kalau authornya Neil Gaiman. Sudah tidak perlu diragukan lagi, buku ini masuk dalam to be read list ku. Tidak perlu mikir dua kali juga saat akan membeli buku ini, harga yang versi bahasa sangat ramah kantong jika dibandingkan dengan versi inggrisnya.

Buku ini menyuguhkan pembacanya pada cerita fiktif yang disampaikan si Ayah sebagai dongeng pagi untuk anak-anaknya. Aku sama sekali tidak menyangka jika hampir keseluruhan isi buku ini adalah cerita perjalanan si Ayah saat membeli susu untuk sarapan, dan kedua anaknya menunggu di rumah dengan bosan karena si Ayah tidak lekas kembali. Bahkan, aku tidak menyadari jika hingga halaman aku tidak menemukan siapa nama kedua anak si Ayah ini, hanya disebutkan bahwa anak pertama sia Ayah adalah kakak laki-laki, dan memiliki adik perempuan. Mereka berdua sedang menunggu susu untuk sarapan serealnya. Ya, pemaca akan dibuat begitu hanyut dengan cerita yang dibawakan oleh si Ayah (yang tidak disebutkan juga namanya, haha).

Justru tokoh dari cerita yang disampaikan si Ayah lah yang disebutkan namanya.Dengan gaya bahasa yang sederhana, dan Ilustarsi dari Skottie Young yang dikemas sangant menarik sangat membantu cerita imaginatif  si Ayah menjadi lebih seru dan mudah dipahami.

5/5

Senin, 09 Maret 2015

An Abundance of Katherines Quotes

 Penulis : John Green | Genre : Fiction, YA
Jumlah Halaman : 320 halaman | Terbit : Mei 2014
paperback
sumber

MEMORY AND THE PAST :
1) This was Colin's first memory: his dad slowly lowering the paper and smiling at him. His dad's eyes were wide with surprise and pleasure, and his smile was uncontainable. "CINDY! THE BOY IS READING THE PAPER!" he shouted. (3.30)
It's important for us to hear where it all began: the very first memory that Colin has. For most of us it's something silly we did as a kid, but for Colin it's a significant moment in forming who he is today. His whole identity can be traced back to this moment when he became a child prodigy.

2) "You and me will read a book and find like three interesting things that we remember. But Colin finds everything intriguing. He reads a book about presidents and he remembers more of it because everything he reads clicks in his head as fugging interesting. Honestly, I've seen him do it with the phone book. He'll be like, 'Oh, there are twenty-four listings for Tischler. How fascinating.'" (9.89)
Thanks to Hassan here, we get a look at how Colin's brain works: his memories are so important to him because it's part of what he does and who he is. He likes to read and remember, and then read some more. We all have a favorite memory, but Colin tries to remember everything. 

LOVE :
1) You can love someone so much, he thought. But you can never love people as much as you can miss them. (10.31)
This is one of the most important lines in the book. Why? Because it's so telling about how Colin feels about the Katherines. He may spend most of his life moping over one of them leaving him, claiming he wants her back, but what he's really bummed about is not having that person around any more. He's not still loving her necessarily—he's wanting her to still be around because he misses her. Now that's deep. 
2) "I was thinking about this girl you love so much," she said. "And this place I love so much. And how that happens. How you can just fall into it. This land Hollis is selling, the thing about it is—well, I'm partly mad because I don't want there to be some bullshit McMansion subdivision up there, but also partly because my secret hideout is up there." (13.86)
Sure, there are different types of love. There's the kind you have for your GF or BF and then there's the type you have for your secret hideaway in the woods. So what do they have in common? Lindsey seems to think it's the process of actually falling in love. It just happens, and before you know it, it's already too late: you're in love whether you wanted to be or not. 

LIFE, EXISTENCE :
1) We're invisible. I've never been here with someone else. It's different being invisible with someone. (14.19)
Shh… we're in a super secret hiding place. Lindsey takes Colin to her hideaway where it's so dark they can't even see each other. We're interested in the way she thinks about her life—she can't be seen by anyone, yet she's with Colin. It's as though they are together, but apart from the rest of the world. 

2) "Whatever, I like you, and I never really like anybody. Hassan likes you, and I can tell that he never really likes anybody, either. You just need more people who don't like people." (14.4)
Bam—Lindsey sure knows how to tell it straight. She's not one of those lovey-dovey gals who wants to be BFFs with everyone in sight, and yet she still likes Colin. It's important for him to come to the realization that not everyone loves the popular kids, and that there are loads of people just like him who only exist on the fringes of the cool kids.


The Giver (2014)

 Sutradara : Phillip Noyce
Writer : Michael Mitnick, Robert B, Lois Lowry (book) |
 Durasi : 97 min |
Genre : Drama, Sci-Fi 

Harga : Rp. 48.000 | Terbit : Agustus 2014 |
Jumlah Halaman : 232 halaman | paperback |
Gramedia


Film adapted dari novel dengan judul yang sama ini, menjadi movie yang to be watch karena salah satu pemainnya adalah Taylor Swift (meskipun Tay keluar dikit banget, cuma 3 menitan). Selain itu genre dari novelnya juga interest, yakni young adult dengan tema dystopian.

Sinopsis :
Dunia yang digambarkan pada film ini adalah suatu komunitas yang terkendali dan teratur, tanpa ada perang, ketakutan, kesakitan dan perbedaan. Oleh sebab itu, pada komunitas ini tidak mengenal iri, dengki, persaingan. Semua orang memiliki perannya masing-masing. Jonas (Brenton Thwaites) terpilih menjadi Sang Penerima Kenangan oleh chief elder (Meryl Streep) untuk menerima latihan khusus. Disinilah ia bertemu dengan The Giver/Sang Pemberi (Jeff Bridges). Selama ini Sang Pemberi memiliki ingatan mengenai hal-hal yang tidak diingat oleh anggota komunitas tersebut. Seperti rasa sakit, dsb. Dan betapa takjub  Jonas menerima kebenaran sesungguhnya. Kejanggalan mulai terjadi di diri Jonas dan dirasakan oleh Ibu Jonas (Katie Holmes) dan Ayah Jonas (Alexander Skarsgard) akibat dari ingatan yang diberikan oleh Sang Pemberi. Teman-teman semasa kecil Jonas yaitu Fiona (Odeya Rush) dan Asher (Cameron Monaghan) berusaha membantu Jonas untuk membuktikan apa yang sebenarnya terjadi. Di balik itu semua, pemimpin dengan julukan Chief Elder berusaha untuk menutup rapat-rapat apapun yang terjadi. Chief elder tidak menginginkan anggota komunitasnya mengetahui kenangan-kenangan yang sudah ditiadakan di komunitas tersebut. 

Komentar :
The Giver minim tantangan, tidak seperti rekannya Divergent atau The Hunger Games dengan “bahaya” yang jelas-jelas mengintai. Konflik cerita juga tidak sedalam rekan-rekannya, sehingga The Giver pun terasa dangkal. Tapi The Giver cukup memberi pesan moral yang dalam. Dari segi casting, Taylor Swift difilm pertamanya ini tidak terlalu kaku saat berperan sebagai Rosemary. Brenton Thwintes sebagai Jonas, yang juga pernah bermain di film Maleficent ini, membuat tokoh Jonas lumayan menjanjikan, tetapi lawan mainnya Odeya Rush masih terlalu kaku.

Pesan : 
Dengan menonton film ini anda akan menemukan sebuah fakta baru disadari, yang worth it menurutku, membuat kita berpikir bahwa dunia kita yang sekarang ini, yang penuh emosi, perbedaan dan persaingan adalah dunia yang lebih baik. Sementara dunia yang teratur, tenteram, karena diatur oleh orang-orang tertentu, bukanlah dunia yang baik dan tidak enak dijalani. Teori konspirasi juga secara tidak langsung ada dalam cerita ini.

film : 7/10
buku : 4/5

The Fault in Our Stars (Novel & Film)

Let me tell you a story abt this film, atau lebih tepatnya novel, atau dari versi novel hingga film. Ini merupakan buku John Green yang pertama kali aku baca tahun 2013 lalu. Selanjutnya ketagihan dengan karya-karya young adult lain miliknya, yang banyak dipuja-puji penikmat novel genre ini. Sedikit membahas tentang John Green, ciri khas dan thing(s) that make John Green so interest are, karyanya yang selalu disisipi dengan "bahasa matematika" ketika menghubungkan suatu peristiwa dengan peristiwa lainnya. Namun terkadang pembaca tidak menyadari rahasia bahasa matematika yang invisible tersebut.

cover TFiOS dari novel hingga layar lebar

Back to TFiOS, sebelum kamu menonton film TFiOS you should read the novel (i dont really cry in movies), atau minimal membaca novelnya setelah kamu tertarik menonton filmnya, kenapa? Karena kalau dibaca dan dipahami dengan hati-hati, TFiOS ternyata jauh lebih kompleks daripada yang kita kira, baik kompleks isinya maupun kompleks efek sesudahnya. Dan aku sarankan lagi buat baca versi aslinya, bukan terjemahannya. Karena di versi terjemahan, banyak adegan yang dipotong --yang menurutku itu mengurangi the essential of the story. Lagipula, ada beberapa kata yang ketika diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia jadi kuarng lucu dan nggak nyambung. Walau demikian, baik versi english maupun versi bahasa sama-sama worth it untuk dibaca kok.

Sutradara : Josh Boone |
Produser : Wyck Godfrey, Marty Bowen |
Writer : Scott Neustadter, Michel H. Weber |
Durasi : 126 min

the review :
It is a teen story, indeed. Dibuka oleh Hazel Grace (Shailene Woodley) dengan dialog di first chapter yang sudah bikin aku sedikit menangis "I didn't tell him that the diagnosis came three months after I got my first period. Like: Congratulations! You're a woman. Now die". (2.13). Ia didiagnosa mengidap kanker tyroid yang sudah mulai menyebar ke paru-parunya sehingga ia harus selalu memakai selang dan membawa tabung oksigen ke mana-mana. Awalnya ia tidak suka datang ke Support Group, di mana anak-anak pengidap kanker bertemu dan saling menguat. Tetapi di situlah ia bertemu Augustus Waters (Ansel Elgort), seorang mantan pemain baseball yang kehilangan sebelah kakinya akibat kanker tulang. Hazel mengenalkan buku kesayangannya yang telah dibacanya berkali-kali: An Imperial Affliction (AIA) karya Peter Van Houten (Willem Dafoe) kepada Augustus. AIA berakhir di tengah kalimat, nyaris seperti salah cetak. Hazel paham bahwa pasti itu terjadi sebagai gambaran bahwa tokoh utamanya, Anna yang juga pengidap kanker, telah meninggal, sehingga ceritanya berhenti sampai situ. Tetapi meskipun bukunya fiksi, Hazel sangat penasaran dengan apa yang terjadi pada tokoh-tokoh lainnya, sehingga ia selalu bermimpi untuk bisa menanyai Peter Van Houten. 

Akibat diskusi asik dengan Gus (Augustus Waters) mengenai buku ini, keduanya saling tertarik dan jatuh cinta. (Akting Shailene Woodley dan Ansel Elgort sebagai sejoli disini sangat cocok, walaupun sempat beradaptasi dulu karena sebelumnya melihat keduanya beradu peran sebagai  Kakak-Adik pada film Divergent). Kalimat-kalimat romantisa yang dikeluarkan dua muda-mudi ini tidak terdengar gombal dan picisan. John Green berhasil membawa pembacanya meresapi dunia remaja yang sedang jatuh cinta namun kebetulan sedang sakit, bukan remaja yang sedang sakit namun kebetulan sedang jatuh cinta


Gus dan Hazel kemudian terbang ke Amsterdam untuk menemui van Houten, ternyata ketika sampai disana, keduanya justru menerima perilaku yang kasar dan tanggapan yang sangat mengecewakan dari penulis idolanya itu. Tetapi setelah diperhatikan, sikap van Houten ini berkaitan terhadap potongan adegan sesudahnya, yakni saat Gus mengaku bahwa ia mengalami kekambuhan sekaligus metastasis kankernya. Beberapa hari setelah kembalinya dari Amsterdam, Gus meninggal. (ini kejadian yang sangat tidak bisa ditebak --siapa sangka Gus akan meninggal lebih dulu). Namun sebelum kepergiannya, Augustus telah mempersiapkan eulogy, agar supaya setelah ia meninggal, Hazel tetap mendapatkan keinginannya. So sweet kan? Lebih bagusnya lagi, lewat eulogy itu kita akhirnya bisa paham mengapa Augustus menyukai Hazel. Dan mengapa Hazel bisa menyukai Augustus.

Pesan :
Kebahagiaan yang utuh hadir tak sekejap waktu
Impian bisa menjadi kenyataan, tetapi terkadang tak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Sama halnya seperti Hazel dan Gus yang mewujudkan mimpi untuk bertmu dengan penulis favorit mereka di Amsterdam. Namun, bagian terbaiknya bukanlah saat bertemu dengan sang penuli, melainkan rangkaian momen yang mereka habiskan bersama.
Hal yang demikian bisa kita petik hikmahnya dengan kesimpulan kebahagiaan yang utuh adalah yang membutuhkan proses dan tahapan.

Favorable quote :
"I tried to tell myself that it could be worse, that the world was not a wish-granting factory, that I was living with cancer not dying of it, that I mustn't let it kill me before it kills me"

“I spent your Wish on that doucheface,” I said into his chest.
“Hazel Grace. No. I will grant you that you did spend my one and only Wish, but you did not spend it on him. You spent it on us.”

"I didn't tell him that the diagnosis came three months after I got my first period. Like: Congratulations! You're a woman. Now die"

""It wold be a privilege to have my heart broken by you
film : 7/10
buku :4/5
























The Hobbit: The Battle of the Five Armies (2014)

 
Sutradara : Peter Jackson |
Produser : Peter Jackson, Fran Walsh, Caroline Guningham |
Writer : Peter Jackson, Fran Walsh, Guillermo del Toro, Philippa Boyens  |
Fran Walsh, Guillermo del Toro, Philippa Boyens
Durasi : 144 min

Sebenarnya sedikit ragu, -lebih tepatnya bingung akan menulis review ini darimana. The Hobbit merupakan film trilogi adapted dari sebuah novel dengan judul yang sama, yang ditulis oleh J.R.R Tolkien. Novel The Hobbit memiliki 320 halaman untuk versi English, dan 340 untuk terjemahan Bahasa Indonesia. 320 lembar yang coba diterjemahkan oleh Peter Jackson menjadi film yang ia pecah menjadi tiga bagian, review ini akan menceritakan The Hobbit: The Battle of the Five Armies. Merupakan prekuel dari The Lord of The Ring (TLoTR).

Review :
Kedatangan Bilbo Baggins (Martin Freeman) beserta 13 kurcaci yang dipimpin oleh Thorin Oakenshield (Richard Armitage) menyebabkan Smaug (Benedict Cumberbatch) yang kala itu sudah menduduki Gunung Erebor marah dan menghancurkan sebuah kota dekat danau menggunakan kekuatannya. Namun ternyata seorang pria bernama Bard (Lukas Evans) berhasil menemukan kelemahan Smaug dan kemudian mengalahkan naga tersebut untuk menjadi pahlawan kotanya. Brad lebih tertarik untuk bersama-sama mengamankan tempat penampungan serta negoisasi yang telah mereka buat dengan Thorin terkait harta di didalam gunung tadi, daripada harus menjadi pemimpin negerinya.

Namun, Thorin tidak menepati janjinya, ia tidak mau membagi harta dan emasnya sesuai perjanjian yang telah ia buat dengan Brad. Hal ini menjadikan Bilbo dan kurcaci lain merasa perlu melakukan sesuatu terhadap situasi tersebut. Kondisi semakin rumit dengan kehadiran kaum elf dibawah pimpinan Thranduil (Lee Pace) yang juga menginginkan harta didalam Gunung Erebor, dan telah membentuk aliansi. Begitupula dengan keberadaan Orc di bawah komando Azog (Manu Bennett) yang berniat mengejar Thorin untuk membalaskan dendam, begitupula dengan Legolas (Orlando Bloom) dan Tauriel (Evangeline Lilly) yang mengetahui bahwa ada tentara kegelapan lain yang siap untuk menyerang.

Komentar :
Jika harus menggambarkan apa yang menarik dari film ini mungkin jawabannya adalah bagian pembuka yang memberikan kita kenikmatan yang terbilang cukup baik untuk klik dengan karakter dan juga masalah, dan bagian penutup yang punya kekuatan cukup besar untuk memuaskan mereka yang telah menyaksikan The Lord of the Rings karena berhasil menciptakan sebuah jembatan menuju The Fellowship of the Ring. Bagaimana dengan sisanya? semua dibungkus dengan alur cerita yang liar namun dalam struktur yang kurang nikmat. Karakter Bilbo Bagins pun terlihat tidak terlalu heroic, dimana sepanjang hampir peperangan terjadi ia hanya tertidur (alias pingsan). Namun aksinya memiliki pesan moral yang tinggi di awal cerita, ia mencuri jantung kekayaan milik Thor, demi tidak terjadinya peperangan dan tegaknya keadilan sesuai perjanjian yang telah ditetapkan.

Pada film ini terdapat begitu banyaknya gimmick yang Peter Jackson coba bentuk untuk menyokong dan memperpanjang cerita. Untuk animasi, sentuhan yang ia ciptakan pada sisi visual cukup apresiative, tetapi ada beberapa bagian yang terlihat terlalu dibuat-buat. Seperti saat Legolas bertarung melawan pasukan Azog di tebing yang perlahan runtuh. Tidak ada yang mengejutkan dari visual, efek visual yang kita dapatkan tetap bagus, tetapi hanya memenuhi standard rata-rata apa yang kita dapatkan dari seorang Peter Jackson, namun yang menjadi masalah adalah ketika ia tampak murni mengandalkan visual tadi untuk menyelesaikan ambisinya agar The Hobbit seri ketiga ini dapat diselesaikan dengan khusnul khotimah.

Hal tersebut yang menjadi faktor utama rasa kecewa pada film ini. Tidak ada yang mengejutkan dari visual, apa yang kita dapatkan sudah berada di level yang sama dari seorang Peter Jackson, namun yang menjadi masalah adalah ketika ia tampak murni mengandalkan visual tadi untuk menyelesaikan ambisinya ini. Harapan pada The Hobbit tentu saja tidak sama dengan harapan pada Transformers, visual memukau dengan cerita yang macet total dari segi daya tarik, kita ingin The Hobbit menyajikan urutan yang bukan hanya menarik tapi juga dilengkapi kemampuan untuk memberikan kita sesuatu yang imajinatif untuk di konsumsi, karakterisasi yang mumpuni bahkan memiliki kualitas emosi yang menarik. Film ini kesulitan pada bagian tersebut, eksposisi dengan materi terbatas dan kemudian berputar-putar mencoba menciptakan kesibukan yang sayangnya menggerus daya tarik, ketegangan, hingga antusiasme penonton.

Overall, The Hobbit: The Battle of the Five Armies adalah film yang cukup memuaskan. Namun seperti overcook saat disajikan dilayar bioskop. Sebagai film dari novel fantasi, The Hobbit terlalu datar pesona nya. Komposisi yang akan dengan mudahnya menjadikan kenikmatan visual dan adegan aksi yang ia berikan turun kelas dari awalnya luar biasa menjadi biasa, dan tidak lebih amazing dari yang diimajinasikan pembaca novelnya. 

film : 6/10
buku : -